1Di Hati #part 2

“Iya Pak, kata pemilik villanya benar. Lurus terus. Habis ini ada alfamart. Nanti bakal dijemput di situ,” kata Della selang beberapa saat setelah menerima telfon.

“Yaudah… eh batunya… batunya lepas… ganjalnya dilepas…” kata sopir masih dengan suasana hati yang panas, apalagi ketika bus menggerung tidak mau jalan karena memang ban baru saja diganjal batu. Irja langsung melepas ganjalan pada bus dan bergegas naik ke bus.

Kami bernafas lega begitu bus mulai melaju. Namun, ternyata masalah tak berhenti cukup sampai di situ. Begitu bus berhasil melewati kawasan hutan, tibalah kami di sebuah pedesaan yang masih sangat asri. Namun, keasriannya ternyata tak membuat sopir itu bernafas ikut bernafas lega.

“Kok sempit jalanannya? Ke mana nih? Itu alfamart? Berarti ke kiri? Sebelah kiri itu sempit lho? Mana bisa buat lewat?” katanya dengan pertanyaan bertubi-tubi, Della sampai kelabakan mau menjawab pertanyaannya.

“Kata bapaknya benar ini Pak. Katanya bisa bus bisa lewat kok,” jawab Della mencoba tenang.

Sopir itu melongok ke jendela, mengira-ngira dan mencoba menjalankan bus memasuki gang yang memang sangat sempit sekali. Gue rasa hanya cukup dimuati satu bus doang.

“Nah kan… kalau kayak gini gimana? Hhhh” keluhnya kembali ketika bus kami berpapasan dengan truk kecil. Truk itu berhenti dan menepi, memberi jalan kepada kami. Jujur saja, saat itu pingin banget rasanya gue kipasin itu sopir supaya suasana hatinya sedikit lebih adem. Tapi, okelah gak jadi masalah. Sebelum sopir itu ngomel-ngomel lagi, pemilik villa sudah datang untuk menjemput dan memberi arahan jalan. Walaupun sebenarnya masih satu dua kali sih sopir itu ngomel, “Mana bisa? Sempit nih…” Padahal…. jreng jreng jreng… ada halaman luas setelah jalan sempit itu untuk parkir. Di sini memberi gue pelajaran, bahwa jangan terlebih dahulu panik dan menilai sesuatu dengan pemikiran yang sempit, karena dengan pemikiran yang sempit dapat menutupi kita untuk melihat peluang besar yang ternyata ada di balik kesempitan itu.

Kami semua turun dari bus itu dan Della mencoba meminta maaf dan berdamai dengan sopir tersebut.

Setelah shalat di musholla terdekat, kami berjalan sekitar 200 meter melewati sawah-sawah dan pedesaan yang benar-benar belum terjamah oleh tangan perkotaan. Suasananya asri banget, suhunya hmmm gak usah ditanya, suhunya dingin banget. Dan tibalah kami di sebuah villa mungil yang menurut gue bagus banget. Di villa ini menjadi saksi cerita makrab kita.

Setelah membereskan barang-barang dan makan siang, Della menginstruksikan untuk mengganti celana training karena ada game. Tapi… sayangnya beberapa rencana acara batal, termasuk games kali ini dan bakal mundur di hari kedua. Lalu hari pertama ngapain? Foto-foto gak jelas tapi gue rasa itu asyik. Apalagi ketika anak cowok secara tidak sengaja buat gaya gelombang sinus. Niatnya sih loncat, eh keberatan di tengah. Asal kalian tahu, buat dapetin foto ini aja mereka sampai pengorbanan foto terjatuh hingga lebih dari lima kali. Walaupun hasilnya sedikit melenceng, tapi gak apa-apa lah ya… masih beken.

1D_7

            Sesuai rencana, malam harinya kami makan masakan sendiri. Namun, setelah bersusah-susah ria masak di dapur ternyata banyar komentar dari anak-anak, karena sayur sopnya gak enak. Sayur sopnya kurang asin. Apalagi tempe balado yang tempenya udah kematengan. Di situ gue ngerasa sedih banget sebagai seksi konsumsi walaupun sebenarnya gue gak bener-bener yang masak sih, cuman bantuin ala kadarnya aja. Tapi tetep aja sedih ngeliat anak-anak terutama cowok lebih memilih roti bakar yang seharusnya cuman pelengkap ketimbang nasi masakan kita.

            Seusai makan dan shalat, kami semua diinstruksikan untuk mengikuti acara selanjutnya di luar villa. Gilaaaa banget. Malam hari, suhu udara semakin turun dan gue yang aslinya orang pesisir gak tahan sama yang namany suhu sedingin ini. Nah, maka dari itu acara kali ini menggunakan api sebagai pelengkapnya. Yap, api unggun sekaligus kelanjutan pembacaan surat cinta dan nominasi pria dan wanita ter- apa gitu sambil persembahan beberapa lagu.

1D_8

Dan gue dapat nominasi terbaper. Sebenarnya gue bingung kenapa nggak di pisbut himada, nggak di makrab kelas gue selalu dapat nominasi terbaper. Setiap kata dari gue selalu diidentikkan dengan kebaperan gue. Katanya wajah gue aja udah mencerminkan ekspresi standardisasi orang yang baper. Di sela-sela pembacaan nominasi, diisi dengan pembacaan surat. Sayangnya, surat cinta yang bener-bener cinta ke lawan jenis udah dibacain sewaktu perjalanan tadi, yang bersisa dan memang dikhususkan untuk dibacain sekarang hanya surat untuk salah seorang dari kita yang sebentar lagi akan berpisah dengan kita. Dan sebenarnya gue nulis surat ke dia. Tapi, anak-anak pada gak tau jika yang nulis surat itu adalah gue. Dan surat gue jadi penutup surat-surat yang lain. Hingga giliran seseorang itu buat ngungkapin perasaannya ke kita semua. Kami semua diam, menyimak ucapan perpisahan darinya. Hanya semilir angin dan gemeretak kayu bakar yang menemani suaranya isaknya. Dinginnya malam membuat kami merasakan momen-momen tatkala berjumpa pertama kali dengannya dan di malam ini menjadi malam perpisahan bagi kita semua.

            “Makasih teman-teman buat 1 tahun bersamanya ini. Tapi, aku udah gak bisa nglanjutin perjalanan kita bareng-bareng. Maafin aku. Aku gak bakal nglupain kalian walaupun kita udah berpisah nanti. Semoga kita sukses bareng,” dia menahan air matanya yang menggantung. Beberapa dari kami bahkan sudah menangis.

            Setelah cukup dikuasai suasana dengan tangisannya, kami mencoba menghibur diri dengan acara selanjutnya. Walaupun ada satu dua anak masih ingin berpelukan dengannya dan mengucapkan kata perpisahan untuknya.

            “Sambil menunggu jagung yang sedang dibakar, kita lanjutin acaranya ya . Kali ini adalah acara hitam-putih. Jadi nanti kalian dibagiin kertas. Kertas itu ditulisin nama kalian, kelebihan dan kekurangan. Kertasnya nanti dikasih rafia terus digantungkan di leher kayak gini,” Della mengalungkan kertas karton di lehernya. “Setelah itu akan ada lagu yang main. Ketika lagu berhenti, kalian boleh memberi kelebihan/kekurangan pada teman kalian. Bagi yang mendapatkan sedikit, akan menerima giliran curhat pertama kali.”

            Kami mengangguk paham. Begitu lagu diputar, anak-anak berjoged ria, gue hanya menggerak-gerakkan tangan doang wkwkwk.

Dan begitu lagu berakhr, gue langsung asal narik kertas orang yang di depan atau di sebelah gue dan nulis kelebihan/kekurangannya. Gue juga ngrasa ada yang narik kertas gue  Saking penasarannya, gue intip dulu kertas gue. Dan banyak banget yang nulis baper di kolom kekurangan gue. Sebenarnya di mana letak kebaperan gue sih? Gue masih merasa menjadi sosok yang gak baper sama sekali. Yang bikin gue ketawa dan melambung cukup tinggi ketika gue lihat di kolom kelebihan ada yang nulis ‘cantik’. Huaaaaah…. akhirnya ada juga yang sadar kalo gue cantik. Akan tetapi setelah gue selidiki siapa yang nulis ‘cantik’ itu ternyata dia cewek yaampun sebegitu kecewanya ya gue wkwk.

            “Lagunya sudah selesai. Sekarang kita hitung ada berapa kelebihan dan kekurangan kita. Siapa yang paling sedikit harus curhat pertama kali. Ada yang kurang dari sepuluh?” tanya Della begitu kami semua duduk seusai lagu berhenti. Belum ada yang menjawab.

            “Ada yang kurang dari 12?” tanya Della lagi. Dan kali ini ada salah seorang yang mengacungkan jari dan harus bersedia untuk curhat.

            “Sebelumnya aku minta maaf mungkin kontribusiku di kelas ini kurang. Aku jarang ikut kegiatan kelas. Sebenarnya perlu kalian tahu aku mengidap suatu penyakit. Biiip (sensor),” saat itu gue terkejut begitu mendengar nama penyakit yang baru saja disebutkan olehnya. Laki-laki periang di kelas kami, laki-laki yang sering ngajarin kami kalkulus, alin, atau peluang, ternyata mengidap penyakit yang bahkan aku tidak bisa mengingat nama penyakitnya karena susah sekali. Dia bercerita dengan nada yang menyentuh sekali. Dan curhatannya malam ini membuka air mata-air mata berikutnya.

            “Sama kayak sebelumnya, aku juga minta maaf kalau mungkin selama ini aku kelihatan kemana-mana sendirian, menyendiri, kelihatan acuh dsb. Itu karena ya karena manusia itu unik gitu lho, sama kayak yang dibilang tadi di sebelum aku. Manusia itu unik. Kita gak bisa kemana-mana harus kompak 34 anak, gak bisa. Pasti kita butuh orang lain yang lebih mengerti kita, tanpa harus ngurangi kekompakan kelas. Ya, aku minta maaf kalo emang aku kelihatan cuek selama ini, soalnya akhir-akhir ini emang lagi ada masalah juga,” kata teman yang lain.

            “Sebenarnya saya kurang setuju dengan yang kalian lakukan di grup chat. Yang bilang ‘siapa yang bisa tapi gak mau’ terus dicopas sampai banyak gitu. Itu sebenarnya bukan karena aku gak mau ngajarin kalian mata kuliah. Tapi, karena sejujurnya aku baru belajar itu H-1. Aku gak yakin bisa ngajarin kalian juga. Jadi mohon pengertiannya untuk tidak melakukan itu lagi,” kata salah seorang teman yang notabennya merupakan siswa terpandai di kelas.

            “Hmm…  saya cuma mau bilang, tolong jaga kebersihan ya, tolong saling membantu juga. Ada temannya cuci piring ikut dibantu, ada temannya nyapu kayak tadi juga dibantu. Dan satu lagi tolong Ngawi itu jangan dibuat lelucon ya. Kalau sama aku sih gak apa-apa, tapi kalau sama anak yang lain itu jangan. Eh aku serius ya,” entah kenapa kita malah ketawa dengan perkataan salah seorang teman ini. Walaupun dia mengatakan dengan nada serius, tapi bagi kami tetap saja terlihat jenaka. Apalagi ketika dia bilang tentang Ngawi, kabupaten asalnya yang sering dijadikan guyonan oleh anak-anak.

            “Sebelumnya aku minta maaf kalo selama ini aku kelihatan kasar, acuh tak acuh sama kalian, sikapku buruk di mata kalian. Tapi, maksud aku itu supaya kalian tahu bagian mana yang gak aku suka dari kalian dan kalian bisa memperbaikinya daripada lama kelamaan dipendam aku malah berprasangka buruk sama kalian terus jadi lebih baik aku ungkapin. Tapi, aku minta maaf jika caraku buat ngungkapin itu salah. Dan kalau aku ada keburukan di mata kalian, kalian juga gak perlu sungkan buat bilang ke aku biar aku bisa memperbaikinya. Ya… mungkin bagi yang gak kenal aku, aku kelihatan kayak bad boy, tapi kalau kalian sudah kenal aku, aku rasa kalian bisa nemuin di mana sisi asyiknya aku. Jadi aku minta maaf atas perlakuan aku dulu yang mungkin menurut kalian salah.”

            “Intinya sama kayak sebelumnya, aku juga minta maaf kalo selama ini kontribusiku kurang dengan kelas ini. Aku juga minta maaf kalo selama ini aku jarang ikut ajakan kalian buat shalat dhuha dan lain-lain. Tapi sejujurnya, ini masih mending daripada dulu. Masih mending,” dan gue speechless sama yang satu ini. Ternyata bukan gue aja yang ngerasa susah membaur. Ternyata anak laki-laki yang gue pikir cukup bisa membaur punya pengalaman kelam juga di bangku SMP dan SMA. Bahkan dia sampai menangis mencurahkan perasaannya. Gue gak bisa berkata apapun lagi. Perasaan gue jauh lebih tertohok lagi ketika mendengarkan curahan hati berikutnya.

            “Aku minta maaf. Ayahku sakit keras. Setiap hari aku selalu mikirin ayah bisa sembuh atau gak. UAS aku hancur karena aku mikirin ini. Ayah aku bukan pegawai negeri yang mendapat pensiunan, jadi selama ayah sakit, ayah gak kerja, dan ibuku hanya ibu rumah tangga,” gadis yang kukenal tegar di kelas, gadis yang kukenal tercantik karena senyumnya itu ternyata sumur air matanya seorang diri. Memang gue akui, sewaktu voting makrab kelas, dia termasuk salah seorang dengan wajahh bingung dan dia jelas-jelas bilang “Uangku habis. Gak usah lah ada makrab.” Gue kira saat itu karena TID belum cair, tapi ternyata dia mendapat musibah yang jauh lebih besar. Jujur gue nangis denger curhatan kayak gini bertubi-tubi. Malam itu gue mendapat peringatan keras dari Tuhan. Selama ini gue selalu iri sama mereka. Mereka pinter, cantik, kelihatan kaya. Tapi… ada sisi gelap mereka yang tak gue tahu. Gue ngerasa gue gak ada bandingannya sama kesabaran mereka, sama apa yang udah mereka lalui. Gue ngerasa buruk udah protes ini protes itu kepada Tuhan.

            “Mbak mau nganter aku ke villa gak?” tanya salah seorang dari kami kepada Mbak Luluk. Namun, aku menyelanya dengan mengatakan jika aku juga ingin ke toilet.

            Dan di saat itu momen gue bener-bener nangis. Entah karena hal yang mana gue bisa nangis.

            “Hmmm sebenernya yang nulis surat buatmu itu aku. Surat panjang yang jadi penutup surat-surat lainnya,” kataku padanya. Hanya ada kami berdua di dalam villa, karena teman yang lain masih mengikuti sesi curhat.

            “Oiya? Kukira bukan kamu. Kukira anak cowok.”

            “Sebenarnya itu curahan hatiku sendiri. Aku bingung. Aku galau saat itu dan melihatmu dengan keputusanmu itu membuatku berpikir keras. Aku takut. Aku gak sepinter kamu. Aku takut jika aku gak bisa menuhi janjiku pada orang tuaku. Aku takut jika aku mengecewakan mereka. Aku takut…” dan air mata gue tumpah di pelukannya malam itu.

            “Jangan nangis Riz… aku malah mau nangis lagi lho… kamu bisa… kamu pasti bisa…” ujarnya menenangkanku.

            “Apa aku salah jika aku memilih untuk tetap di sini? Aku masih ingin di sini, tapi aku takut dengan ketakutanku sendiri.”

            “Nggak. Kamu nggak salah kok. Jangan takut. Kamu pasti bisa.”

            Jika saja gak ada langkah kaki seseorang yang masuk, mungkin gue masih nangis sambil curhat sehari semalam. Masalah ini, gue rasa, gue hanya butuh untuk mengendalikan perasaan takut gue. Nglawan ketakutan gue sendiri dan tersenyum agar gue ngerasa gak ada yang sia-sia.

            Acara malam itu masih berlanjut hingga pukul 12 malam dan kemudian satu per satu dari kami bergegas tidur, tapi anak cowok masih begadang di depan TV. Yang gue perlukan hanyalah tenang, pangkas ketakutan di masa depan yang belum terjadi dan tersenyum menyambut apapun yang akan terjadi.

            Sebagai penutup serangkaian acara dalam makrab kelas ini, adalah acara tembak-tembakan air. Kami saling melempar plastik berisi air ke teman-teman kami. Eh kami? (gue gak ikut ding. Gue milih ngumpet di kamar mandi terus mengendap-endap masuk ke villa). Tapi, gue bisa ngrasain keceriaan mereka bermain. Ada beberapa anak yang diceburkan ke dalam kolam ikan (bukan kolam renang) dan ada juga yang meronta-ronta jadi urung untuk diceburkan ke dalam kolam. Namun, di balik keceriaan itu gue sedih ada satu orang yang gak bisa merasakannya karena maaghnya kambuh. Laki-laki yang mengatakan ia mengidap penyakit yang entah aku lupa namanya apa. Dia hanya meringkuk di balik selimutnya tanpa menyuap satu sendok makan pun. Dalam hati gue berdoa, semoga Tuhan menjawab doanya. Semoga Tuhan menyembuhkannya. Semoga segala kebaikannya mengajari kami materi kuliah mampu menggerus dosa-dosanya.

1D_9

Pukul setengah tiga sore, kami bergegas menuju bus dan melakukan perjalanan pulang. Aku duduk di sebelah gadis itu. Gadis yang membuat makrab ini menjadi perpisahan termanis dalam hidup kami. Gadis yang mungkin nasibnya hampir sama denganku, tetapi kami memutuskan untuk membuka pintu yang berbeda, menuju jalan cerita yang juga berbeda tapi akan menuntun kita sama-sama menuju takdir kita. Tak ada takdir yang salah, hanya jalan ceritanya yang berubah. Perpisahan termanis dengannya ini memberiku banyak pelajaran. Makna bersyukur, makna berjuang, makna melawan ketakutan sendiri, dan makna meraih apa yang kau yakini benar.

cerita ini aku dedikasikan untuk teman sekelasku di kampus tercinta.

Jika ku lelah, ingatkan aku dengan perjuanganku dulu.

Leave a comment